JAKARTA – Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mengajak jajaran Polri secara bersama memperkuat kolaborasi dengan pengawas pemilu dalam mencegah dan menangani pelanggaran Pemilu 2024 di media sosial (medsos).
Anggota Bawaslu, Lolly Suhenty mengatakan ada banyak kerja sama yang perlu dilakukan dalam menangani pelanggaran pemilu yang akan memasuki tahapan kampanye.
“Polisi dan Bawaslu bisa berkolaborasi untuk memetakan dan mendeteksi dini kerawanan pemilu,” ujar Lolly di acara Optimalisasi Pengelolaan Media Digital oleh Humas Polri dalam Rangka Mendukung Penyelenggaraan Pemilu Damai 2024 di Jakarta, Selasa (21/11/2023).
Kolaborasi tersebut, lanjut Lolly, bertujuan memperkuat sosialisasi dan penguatan netralitas kepada seluruh aparat kepolisian sekaligus mencegah dan menindak pelanggaran politik uang dan pelanggaran UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE).
“Bisa juga dibuat patroli pengawasan siber. Belajar dari pengalaman Pemilu 2019, Bawaslu, KPU, KPI, Kemenkominfo, dan Polri melakukan kolaborasi mencegah potensi maupun embrio berkembangnya politisasi SARA, hoax, dan ujaran kebencian di medsos,” tuturnya.
Lebih lanjut Lolly mengungkapkan, dari hasil pemetaan indeks kerawan pemilu (IKP) yang dikaji Bawaslu, medsos merupakan salah satu kerawanan krusial.
“Dalam analisis Bawaslu salah satu kerawanan untuk penyelenggara pemilu, ada pada tingkat ad hoc (sementara). Saat ini akibat kasus Medan, maka ini yang akan diperkuat lagi,” jelasnya.
Berdasarkan hasil IKP, Lolly menyebut netralitas ASN, TNI, dan Polri menjadi kerawanan tertinggi. “Hanya saja dalam UU ASN yang baru tak mencantumkan KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara), sehingga untuk memastikan netralitas ASN akan ada perubahan,” ucapnya.
Adapun strategi pencegahan yang dilakukan Bawaslu dengan melakukan sosialisasi kepada seluruh ASN secara besar-besaran atau masif mengenai pentingnya ASN bersikap netral baik secara daring maupun luring.
“Masalah mendasar pelanggaran netralitas ini adalah implementasi regulasi kurang mendorong deterrence effect (efek gentar) karena yang terjaring lebih banyak staf, bukan pejabat struktural,” terangnya.
Dia lalu menjelaskan, kerawanan lainnya adalah politik uang sebagai kerawanan tertinggi. “Modusnya politik uang, yaitu memberi langsung (cash dan voucher), memberi barang, memberi janji, melibatkan kandidat, tim sukses atau tim kampanye, ASN, penyelenggara ad hoc, dan simpatisan atau pendukung,” tukasnya.*