Semarang – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkuat komitmennya dalam mendorong tata kelola yang transparan dan akuntabel di sektor jasa keuangan, sekaligus menjadikan industri ini sebagai tulang punggung pengembangan ekonomi daerah.
Hal tersebut disampaikan Ketua Dewan Audit OJK, Sophia Wattimena, dalam kegiatan Evaluasi Kinerja Industri Jasa Keuangan Jawa Tengah Semester I Tahun 2025 yang mengangkat tema “Mewujudkan Jawa Tengah Mapan dan Tumbuh melalui Kinerja Industri Jasa Keuangan yang Stabil dan Inklusif”, di Kantor OJK Jawa Tengah, Selasa (16/9).
Kegiatan ini merupakan forum evaluasi sekaligus diskusi yang bertujuan memperkuat kontribusi industri jasa keuangan (IJK) dalam pembangunan daerah, perluasan akses keuangan, serta menjaga stabilitas sektor keuangan di Jawa Tengah.

Sophia menjelaskan, OJK mendorong penguatan tata kelola sektor jasa keuangan melalui penerapan Three Lines Model. Lini pertama adalah lembaga jasa keuangan yang diharapkan memiliki sistem pengendalian internal yang kuat. Lini kedua, yaitu profesi pendukung seperti akuntan publik, dituntut menjunjung tinggi standar dan etika profesi. Adapun lini ketiga adalah regulator, yakni OJK, yang menjalankan fungsi pengaturan dan pengawasan, termasuk terhadap profesi penunjang tersebut.
OJK juga telah mengembangkan kebijakan dan regulasi tata kelola terintegrasi untuk meminimalkan benturan kepentingan dan meningkatkan akuntabilitas sektor jasa keuangan. Upaya ini dilakukan melalui penguatan pelaporan keuangan dan peran profesi penunjang.
Langkah konkret pencegahan benturan kepentingan antara lain meliputi larangan rangkap jabatan, kewajiban cooling-off period bagi komisaris independen, serta pembatasan investasi pada perusahaan afiliasi. Untuk mencegah window dressing, OJK menerbitkan POJK 15/2024 tentang Integritas Pelaporan Keuangan Bank, yang mewajibkan penerapan Internal Control over Financial Reporting (ICoFR).
Selain penguatan pengendalian internal, OJK juga memperkuat independensi dan peran profesi penunjang melalui sejumlah regulasi, yaitu: POJK 9/2023, yang mengatur penggunaan jasa akuntan publik, termasuk larangan hubungan keuangan yang dapat mengganggu independensi; POJK 30/2023, yang mewajibkan akuntan publik menyampaikan Hal Audit Utama dalam laporan keuangan yang diaudit; serta POJK 5/2025, yang mengatur perizinan, pengawasan, dan sanksi bagi profesi penunjang, dan akan berlaku mulai Maret 2026.
“Seluruh ketentuan ini ditujukan untuk mendukung keandalan laporan keuangan dan meningkatkan kepercayaan para pengguna laporan keuangan. Regulasi-regulasi tersebut dirancang untuk membangun sektor jasa keuangan yang kuat, transparan, dan dapat dipercaya,” ujar Sophia.
Kegiatan ini turut dihadiri oleh Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi, Asisten Ekonomi Pembangunan Sekda Provinsi Jateng Sujarwanto Dwiatmoko, Kepala Departemen Surveillance dan Kebijakan Sektor Jasa Keuangan Terintegrasi OJK Henry Rialdi, serta Kepala Perwakilan Bank Indonesia Jawa Tengah Rahmat Dwisaputra. Hadir pula Plt. Kepala BPS Jawa Tengah Endang Tri Wahyuningsih, Kepala Perwakilan BPKP Jawa Tengah Buyung W. Samudro, Kepala Prodi Magister Ekonomi Universitas Diponegoro Wahyu Widodo, pimpinan IJK yang tergabung dalam Forum Komunikasi IJK Jawa Tengah, asosiasi, serta akademisi.
Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi menyampaikan apresiasinya terhadap program dan kebijakan OJK yang dinilai selaras dengan upaya daerah dalam memperkuat sektor ekonomi prioritas. Ia menekankan bahwa industri jasa keuangan berperan vital sebagai motor penggerak ekonomi daerah, penyedia layanan keuangan, penjaga stabilitas, serta pendorong inklusi dan literasi keuangan.
“Sektor jasa keuangan memiliki peran strategis dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi masyarakat di Jawa Tengah. Ke depan, pembangunan daerah akan difokuskan pada peningkatan akses keuangan di pedesaan, penguatan UMKM, serta pengembangan ekonomi hijau berkelanjutan,” ujar Ahmad Luthfi.
Berdasarkan data BPS dan OJK, pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah pada triwulan II-2025 tercatat sebesar 5,28 persen, lebih tinggi dari rata-rata nasional sebesar 5,12 persen. Pertumbuhan ini ditopang oleh sektor industri pengolahan, perdagangan, pertanian, dan konstruksi.
Sementara itu, Kepala OJK Provinsi Jawa Tengah Hidayat Prabowo menambahkan bahwa dalam rangka mempercepat akses keuangan daerah, memperkuat perlindungan konsumen, serta meningkatkan edukasi dan literasi keuangan, OJK bersama pemerintah daerah, industri jasa keuangan, dan para pemangku kepentingan terus menjalankan berbagai program secara kolaboratif.
Beberapa inisiatif yang dijalankan antara lain melalui Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD), pembentukan Satgas PASTI di daerah, serta pelaksanaan edukasi dan literasi keuangan secara masif, terukur, dan merata.
“Penguatan kolaborasi antara OJK, instansi pemerintahan, dan pelaku industri jasa keuangan dilakukan agar program dapat menjangkau seluruh wilayah dan lapisan masyarakat. Ini juga penting untuk menghindari tumpang tindih program serta memastikan tidak ada wilayah yang terlewatkan dalam edukasi keuangan,” ujar Hidayat.
Kinerja Industri Jasa Keuangan
Hingga Juni 2025, sektor perbankan di Jawa Tengah mencatatkan pertumbuhan yang positif. Kredit perbankan tumbuh 1,80 persen (yoy), dengan Dana Pihak Ketiga (DPK) meningkat 1,68 persen (yoy). Untuk BPR/S, pertumbuhan kredit tercatat sebesar 7,02 persen (yoy).
Sektor pasar modal juga menunjukkan tren positif, terutama dengan meningkatnya jumlah investor ritel pada instrumen reksa dana. Hal ini mencerminkan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap investasi yang aman dan mudah diakses.
Melalui forum evaluasi ini, OJK Jawa Tengah kembali menegaskan komitmennya untuk memperkuat sinergi dengan seluruh pemangku kepentingan, baik dari kalangan pemerintah, industri, akademisi, maupun masyarakat. Sinergi ini diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah yang mapan, inklusif, dan berkelanjutan, serta memperkuat peran provinsi ini sebagai salah satu motor pertumbuhan ekonomi nasional.