Viralisme telah menjelma menjadi semacam paham baru dalam kehidupan digital. Ia bukan sekadar fenomena sesaat, melainkan pola pikir yang memengaruhi cara manusia melihat nilai, kebenaran, bahkan eksistensi diri. Dalam paham viralism, sesuatu dianggap penting bukan karena kedalaman makna atau dampaknya, melainkan karena sejauh mana ia mampu menarik perhatian massal. Ukuran nilai bergeser dari substansi ke statistik: jumlah tayangan, likes, komentar, dan seberapa cepat sesuatu menyebar.
Permasalahan pertama muncul pada para penikmat viral. Mereka sering kali menjadi konsumen pasif yang menelan informasi tanpa proses kritis. Apa yang viral dianggap otomatis benar, layak ditiru, atau patut dibela. Dalam situasi ini, nalar sering kalah oleh rasa ingin tahu dan dorongan untuk ikut arus. Penikmat viral tidak lagi bertanya “apa maknanya?”, tetapi “berapa yang menonton?”. Akibatnya, empati dapat terkikis, karena penderitaan orang lain, aib pribadi, bahkan tragedi kemanusiaan pun bisa berubah menjadi tontonan semata.
Di sisi lain, pembuat viral juga tidak lepas dari persoalan etis. Dorongan untuk menciptakan sesuatu yang viral sering kali melahirkan konten yang sengaja dilebih-lebihkan, dipelintir, atau bahkan direkayasa. Kebenaran menjadi fleksibel, menyesuaikan kebutuhan algoritma dan selera pasar. Dalam paham viralism, pembuat konten bisa terjebak pada logika bahwa tujuan menghalalkan cara: selama viral, maka sah. Dampaknya, batas antara kreativitas dan manipulasi menjadi kabur, antara kritik sosial dan eksploitasi menjadi sulit dibedakan.

Yang lebih mengkhawatirkan, paham viralism menciptakan siklus saling menguatkan antara penikmat dan pembuat viral. Penikmat memberi atensi, pembuat memberi sensasi. Keduanya saling membutuhkan, namun sama-sama berpotensi kehilangan arah. Ruang publik digital yang seharusnya menjadi tempat pertukaran gagasan justru berubah menjadi arena kompetisi perhatian, di mana yang paling bising sering kali mengalahkan yang paling bijak.
Pada akhirnya, viralism bukan sekadar soal teknologi, melainkan soal sikap manusia terhadap informasi dan popularitas. Ia menantang kita untuk memilih: menjadi bagian dari arus tanpa kendali, atau menjadi individu yang sadar dan bertanggung jawab dalam mengonsumsi serta memproduksi konten. Viralisme akan terus ada, tetapi makna yang kita berikan padanya sepenuhnya berada di tangan kita. Apakah ia menjadi alat pencerahan, atau justru cermin kegaduhan zaman.
Din Tajudin – Pegiat Sosial



