Selasa, 20 Mei 2025
30.3 C
Semarang

Efek “Stereotype Threat” pada Siswa: Ketika Ketakutan Menjadi Penghalang Prestasi

Berita Terkait

ilustrasi — Efek Stereotype Threat pada siswa (pixabay)

PORTALJATENG — Apakah Anda pernah mendengar seseorang berkata, “Anak perempuan biasanya kurang mahir dalam matematika” atau “Anak laki-laki tidak pandai menulis”? Pernyataan seperti ini bukan sekadar opini; mereka adalah contoh stereotipe yang dapat berdampak besar pada kehidupan siswa. Salah satu efek yang paling signifikan adalah apa yang disebut sebagai stereotype threat atau ancaman stereotipe.

Stereotype threat adalah fenomena psikologis di mana seseorang merasa cemas atau tertekan karena takut memenuhi stereotipe negatif yang diasosiasikan dengan kelompok sosialnya. 

Steele dan Aronson (1995) memperkenalkan konsep ini setelah menemukan bahwa pengingat tentang stereotipe negatif sebelum melakukan tugas tertentu dapat menurunkan kinerja seseorang. 

Sebagai contoh, siswa perempuan yang diberitahu bahwa perempuan biasanya kurang baik dalam matematika mungkin akan merasa cemas saat mengerjakan soal matematika. Akibatnya, kecemasan ini mengurangi kemampuan mereka untuk berkonsentrasi, sehingga hasilnya menjadi kurang optimal (Steele & Aronson, 1995).

Stereotype threat terjadi akibat interaksi antara faktor sosial, budaya, dan psikologis. Beberapa alasan utama adalah:

Pengingat akan stereotipe negatif

Seseorang yang diingatkan secara langsung atau tidak langsung tentang stereotipe negatif yang relevan, maka perhatian mereka akan teralihkan dari tugas yang sedang dilakukan ke kekhawatiran tentang penilaian negatif.

Tekanan untuk membuktikan diri

Tekanan ini dapat meningkatkan kecemasan, yang pada akhirnya menghambat kinerja mereka. Contohnya, siswa perempuan yang ingin membuktikan bahwa tidak semua perempuan tidak bisa matematika. Tekanan untuk membuktikan bahwa mereka tidak sesuai dengan stereotipe tersebut

Pengaruh lingkungan

Lingkungan belajar yang kurang inklusif dapat memperkuat efek stereotipe pada siswa.

Kurangnya representasi positif

Saat siswa tidak melihat adanya seseorang dari kelompok mereka yang sukses di bidang tertentu, mereka cenderung merasa bahwa stereotipe itu benar, sehingga meningkatkan ancaman stereotipe.

Efek stereotype threat ini dapat muncul pada siswa sejak usia sekolah dasar (Schmader, Johns, & Forbes, 2008). Studi menunjukkan bahwa siswa mulai memahami stereotipe sosial sejak usia 6-10 tahun dan dampaknya akan menjadi lebih nyata saat mereka menghadapi tugas yang sulit atau evaluasi penting, seperti ujian atau kompetisi. 

Efek ini sering kali menjadi lebih kuat pada masa remaja, ketika identitas sosial dan akademik mereka sedang berkembang.

Efek stereotype threat dapat dirasakan di berbagai aspek Pendidikan, misalnya:

Ketika siswa merasa terancam oleh stereotipe, mereka cenderung tidak menunjukkan potensi terbaiknya. Hal ini telah dibuktikan dalam berbagai studi, misalnya siswa dari kelompok minoritas yang diberitahu bahwa mereka kurang unggul dalam akademik cenderung mendapatkan skor lebih rendah dalam ujian (Spencer, Steele, & Quinn, 1999).

Ketakutan akan memenuhi stereotipe dapat mengikis rasa percaya diri siswa. Mereka mungkin mulai meragukan kemampuan mereka sendiri, meskipun sebenarnya mereka mampu.

Stereotipe dapat memengaruhi siswa dalam memilih bidang studi atau karier. Misalnya, stereotipe bahwa perempuan tidak cocok bekerja di bidang STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika) dapat membuat mereka ragu untuk mengambil jurusan-jurusan tersebut untuk studi maupun karier.

Tekanan yang terus-menerus akibat stereotipe dapat menyebabkan stres, kecemasan, atau bahkan depresi pada siswa (Schmader, Johns, & Forbes, 2008).

Cara Mengatasi Stereotype Threat

Beberapa langkah yang dapat kita lakukan untuk mengurangi efek stereotype threat di sekolah:

  1. Meningkatkan kesadaran guru 

      Guru perlu menyadari adanya stereotipe dalam pendidikan dan berupaya untuk tidak memperkuatnya. Dukungan yang positif dan adil kepada semua siswa dapat membantu mengurangi tekanan ini.

      2. Menciptakan lingkungan inklusif 

      Sekolah harus menjadi tempat yang mendukung keberagaman. Menunjukkan berbagai contoh keberhasilan dari semua kelompok dapat membantu siswa merasa lebih percaya diri. Menghilangkan stereotipe dari percakapan sehari-hari di kelas dapat membantu siswa merasa lebih bebas dari tekanan.

      3. Memberikan dukungan psikologis 

      Konselor sekolah dapat membantu siswa yang merasa tertekan akibat stereotipe dengan memberikan strategi untuk mengatasi kecemasan sehingga siswa dapat belajar dengan lebih nyaman.

      Stereotype threat adalah tantangan nyata dalam dunia pendidikan yang dapat menghambat perkembangan siswa. Namun, dengan kesadaran dan langkah-langkah yang tepat, efek ini dapat diminimalkan. 

      Setiap siswa, tanpa memandang latar belakang atau identitasnya, berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkembang dan mencapai potensi terbaiknya. Mari bersama menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif dan memberdayakan!

      Daftar Pustaka

      Schmader, T., Johns, M., & Forbes, C. (2008). An integrated process model of stereotype threat effects on performance. Psychological Review, 115(2), 336-356. https://doi.org/10.1037/0033-295X.115.2.336

      Spencer, S. J., Steele, C. M., & Quinn, D. M. (1999). Stereotype threat and women’s math performance. Journal of Experimental Social Psychology, 35(1), 4-28. https://doi.org/10.1006/jesp.1998.1373

      Steele, C. M., & Aronson, J. (1995). Stereotype threat and the intellectual test performance of African Americans. Journal of Personality and Social Psychology, 69(5), 797-811. https://doi.org/10.1037/0022-3514.69.5.797

      Wahyuni Budiastuti, Mahasiswa Magister Psikologi Soegijapranata Catholic University

      Berita Terkait

      spot_img

      Berita Terbaru