Suasana pagi yang masih setengah mengantuk, di atas meja kayu dekat jendela, selalu ada dua pilihan yang tampak sederhana: secangkir kopi dan segelas teh. Keduanya diam, mengepul pelan, seolah menunggu siapa yang akan lebih dulu dipilih. Padahal, di balik wujudnya yang biasa saja, kopi dan teh membawa cerita yang berbeda.
Secangkir kopi datang dengan aroma yang tegas. Begitu diseruput, rasanya langsung membangunkan pikiran. Ada pahit yang jujur, kadang disertai sedikit asam atau manis, tergantung siapa yang meraciknya.
Kopi sering dianggap teman setia mereka yang dikejar waktu: pekerja yang harus segera fokus, mahasiswa yang begadang semalaman, atau siapa pun yang butuh dorongan cepat untuk kembali sadar. Kopi tidak banyak basa-basi. Ia seperti berkata, “Ayo, kita mulai hari ini sekarang.”

Di sisi lain, segelas teh menawarkan ketenangan. Warnanya bening atau keemasan, aromanya lembut, dan rasanya tidak pernah memaksa. Teh mengajak duduk lebih lama, menarik napas, dan menikmati jeda. Ia cocok untuk sore hari, untuk obrolan santai, atau untuk saat-saat ketika pikiran perlu dirapikan pelan-pelan.
Teh tidak terburu-buru. Ia seperti berbisik, “Tidak apa-apa kalau pelan, yang penting jalan.”Kopi dan teh juga seringkali mencerminkan suasana hati. Saat seseorang memilih kopi, mungkin ia sedang ingin menantang hari, siap menghadapi daftar tugas yang panjang. Saat memilih teh, bisa jadi ia ingin berdamai dengan diri sendiri, meredakan lelah yang tidak selalu terlihat. Bukan berarti kopi selalu keras dan teh selalu lembut, tapi keduanya punya cara sendiri untuk menemani manusia.
Menariknya, tidak ada yang benar atau salah dalam memilih. Ada hari-hari ketika kopi adalah penyelamat, dan ada hari-hari ketika teh terasa lebih pas. Bahkan, ada momen ketika keduanya hadir bergantian: kopi di pagi hari, teh di sore menjelang malam.
Pada akhirnya, secangkir kopi dan segelas teh bukan sekadar minuman. Mereka adalah simbol pilihan kecil dalam hidup. Pilihan untuk bergegas atau melambat, untuk menekan gas atau menginjak rem. Dan seperti hidup itu sendiri, kadang kita hanya perlu jujur pada diri sendiri: hari ini, kita butuh yang mana?
Din Tajudin – Pegiat Sosial



