Rabu, 30 Oktober 2024
29 C
Semarang

Pengaruh Stereotip Pada Interaksi Sosial di Kelas Unggulan dan Reguler

Berita Terkait

foto ilustrasi /pixabay

PORTALJATENG — Interaksi sosial di sekolah atau kelas sering kali dipengaruhi oleh stereotip yang muncul di antara siswa. Stereotip merupakan pandangan atau asumsi yang dilekatkan kepada individu berdasarkan keanggotaannya dalam kelompok tertentu.

Stereotip tentang kemampuan akademik siswa dari kelas unggulan dan reguler dapat mempengaruhi cara mereka berinteraksi satu sama lain. Pemisahan kelas unggulan dan regular ini tidak hanya berdampak pada perkembangan akademik siswa, tetapi juga membentuk sikap sosial yang dimiliki oleh siswa dan guru satu sama lain.

Sikap sosial ini mencakup bagaimana cara siswa memandang diri sendiri dan teman sekelas mereka, serta bagaimana guru memperlakukan siswa berdasarkan kelasnya. Siswa di kelas unggulan mungkin mengalami tekanan lebih tinggi karena ekspektasi dari lingkungan, sedangkan siswa di kelas reguler mungkin merasa diremehkan.

Akibatnya, hubungan sosial antar siswa menjadi terpengaruh, bahkan dapat mengarah pada diskriminasi atau pengucilan. Siswa yang berada di kelas unggulan sering kali diasosiasikan dengan kemampuan akademik yang tinggi, kecerdasan, dan keunggulan dalam berbagai aspek pendidikan.

Namun, stereotip positif ini dapat memberikan tekanan besar bagi siswa karena ekspektasi yang sangat tinggi dari guru, orang tua, dan teman-teman sebayanya. Rosenthal & Jacobson (1968) mengemukakan bahwa ekspektasi yang dimiliki oleh guru terhadap siswa dapat mempengaruhi hasil akademik siswa.

Siswa kelas unggulan mungkin diharapkan untuk lebih berprestasi, sementara siswa kelas reguler mungkin dipandang dengan ekspektasi yang lebih rendah, sehingga menimbulkan fenomena self-fulfilling prophecy. Hal ini bisa mempengaruhi harga diri siswa dan menurunkan motivasi belajar mereka. Fenomena ini dapat diperburuk oleh ekspektasi guru yang lebih rendah, yang pada akhirnya mempengaruhi pencapaian akademik siswa.

Data empiris dari studi kasus di beberapa sekolah menunjukkan adanya perbedaan dalam persepsi sosial siswa terhadap teman sekelas dari kelompok unggulan dan reguler. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa siswa yang dianggap “lebih pintar” cenderung dijadikan pemimpin kelompok, sementara siswa dari kelas reguler cenderung lebih sering diabaikan dalam konteks kerja kelompok.

Brewer (1988) menyatakan bahwa manusia secara otomatis mengkategorikan informasi sosial sebagai upaya untuk menyederhanakan kompleksitas dunia. Kategorisasi ini mempengaruhi cara guru dan teman sekelas mempersepsikan kemampuan dan potensi siswa, yang berpotensi menimbulkan stereotip. Sedangkan Sherif dan Hovland (1961) mengemukakan bahwa sikap sosial terbentuk melalui proses penilaian sosial yang didasarkan pada pengalaman individu dan interaksi mereka dengan lingkungan sosialnya.

Sikap sosial yang berkembang di kelas unggulan dan reguler dipengaruhi oleh persepsi individu tentang status kelas dan peran mereka dalam lingkungan tersebut.
Tajfel dan Turner (1979) menyatakan bahwa individu mengidentifikasi diri mereka dengan kelompok sosial tertentu. Siswa kelas unggulan mungkin mengembangkan identitas kelompok yang lebih kuat dengan melihat bahwa mereka menjadi bagian dari kelompok yang “lebih baik” secara akademik. Sebaliknya, siswa di kelas reguler mungkin merasa kurang dihargai dan hal ini dapat mempengaruhi interaksi sosial mereka di dalam maupun di luar kelas.

Menurut Sue & Sue (2013), dalam psikologi multikultural menekankan pentingnya menghargai perbedaan budaya dalam memahami perilaku manusia. Dalam konteks stereotip terhadap kelas unggulan dan reguler, perlu ada pemahaman lintas budaya dalam merespons perbedaan latar belakang sosial-ekonomi, etnis, dan kemampuan yang mempengaruhi proses belajar. Pendekatan multikultural dalam memahami sikap sosial dapat membantu mengurangi ketimpangan dalam perlakuan dan ekspektasi terhadap siswa dari berbagai latar belakang.
Psikologi multikultural menawarkan kerangka berpikir yang lebih inklusif dalam memahami fenomena stereotip ini.

Setiap siswa, baik di kelas unggulan maupun reguler, datang dari berbagai status sosial dan latar belakang budaya yang berbeda. Penting untuk mempertimbangkan perbedaan tersebut dalam pendekatan pengajaran agar tidak terjebak dalam bias stereotipikal. Penerapan prinsip-prinsip multikultural di sekolah dapat membantu meminimalisir dampak negatif stereotip dan memastikan bahwa setiap siswa mendapatkan kesempatan yang adil untuk berkembang.

Ini membantu guru mengenali peran pentingnya dalam membentuk pengalaman belajar para siswanya. Membangun hubungan yang positif dengan memberikan dukungan pada siswa dapat meningkatkan motivasi mereka, begitu pun dengan keterlibatan mereka dalam pembelajaran. Pemahaman akan interaksi sosial ini membantu kita untuk mengenali pentingnya pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif dan bekerja dalam kelompok. Dengan melakukan interaksi dengan teman sebayanya, siswa dapat belajar dari sudut pandang yang berbeda untuk mengembangkan keterampilan sosial dan bagaimana membangun hubungan yang positif. Interaksi sosial ini membantu kita untuk memahami bagaimana pentingnya menciptakan lingkungan belajar yang adil dan inklusif bagi semua siswa.

Pendidikan yang inklusif dan adil bertujuan untuk membentuk generasi yang toleran, menghargai perbedaan, dan berempati. Interaksi dan perbedaan sosial, budaya, serta latar belakang siswa dapat mempengaruhi pengalaman belajar yang mereka dapatkan. Dengan demikian kita dapat merancang strategi dan kebijakan pendidikan yang berpihak pada kebutuhan siswa.
Interaksi sosial memegang peranan yang penting dalam pembentukan karakter seseorang. Melalui interaksinya dengan guru, teman, dan staf di sekolah, siswa belajar nilai-nilai moral dan etika di lingkungan masyarakat. Komunikasi yang dilakukan sehari-hari bersama teman-temannya juga membantu membentuk sikap toleransi, kerjasama, dan rasa hormat terhadap perbedaan yang dijumpai.

Pendidikan tidak hanya tentang perkembangan kognitif, penguasaan materi akademis, tetapi juga tentang pengembangan keterampilan interpersonal yang penting untuk keberhasilan di dunia nyata. Interaksi sosial membantu mengasah keterampilan berkomunikasi pada siswa, negosiasi, dan kerja sama di sekolah. Kemampuan mereka dalam berinteraksi menjadi modal penting dalam karir dan kehidupan sehari-hari. Melalui interaksinya dengan teman sebaya, mereka menemukan tempat dalam sosialitas di sekolah.

Ini bisa mencakup pembentukan kelompok-kelompok kecil pertemanan, eksplorasi minat bersama, dan pencarian jati diri. Kolaborasi yang terjadi antara siswa dan guru, diskusi yang dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil, dan dukungan sosial yang diberikan oleh teman sekelas dapat meningkatkan pemahaman konsep dan motivasi belajar siswa. Sebaliknya, ketidaksesuaian sosial dapat mempengaruhi performa akademik siswa dan kesejahteraannya.

Interaksi sosial di lingkungan sekolah dapat menghadirkan tantangan, seperti konflik interpersonal atau tekanan kelompok. Hal ini memberikan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan problem solving, manajemen konflik, dan resiliensi. Peran penting guru adalah membimbing siswanya agar dapat melalui ini.
Beberapa solusi yang bisa dilakukan oleh pihak sekolah yaitu:
Pihak sekolah perlu mengadakan program pendidikan yang menekankan pentingnya menghargai perbedaan dan menekan adanya stereotip di kalangan siswa melalui Edukasi Anti-Stereotip
Siswa dari kelas unggulan dan reguler perlu lebih sering berinteraksi melalui kegiatan kolaboratif untuk meminimalkan perbedaan persepsi di antara mereka.
Bimbingan konseling bisa dilakukan untuk membantu siswa memahami dan mengelola dampak negatif dari stereotip yang mereka alami atau hadapi.
Jadi, stereotip terhadap siswa kelas unggulan dan kelas reguler menciptakan tantangan tersendiri dalam dunia pendidikan.

Untuk mengatasi stereotip tersebut, diperlukan pendekatan yang lebih inklusif dan multikultural dalam proses pengajaran. Dengan memahami latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya setiap siswa, guru bisa membantu untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih baik dan dapat mendukung perkembangan seluruh siswa secara holistik. Melalui pendekatan psikologi multikultural, kita dapat memahami bahwa sikap sosial ini bukan hanya masalah akademik semata, tetapi juga melibatkan faktor sosial-ekonomi dan budaya yang lebih luas. Oleh karena itu, penting untuk guru dan pemangku kebijakan pendidikan untuk mengembangkan kesadaran multikultural dan bagaimana menciptakan lingkungan belajar yang inklusif bagi semua siswanya.

Daftar Pustaka
https://www.kompasiana.com/alya10940/6573d70fde948f3a563630c6/memahami-interaksi-sosial-dalam-konteks-pendidikan
Brewer, M. B. (1988). A Dual Process Model of Impression Formation. In T. K. Srull & R. S. Wyer (Eds.), Advances in Social Cognition (Vol. 1). Erlbaum.
Macrae, C. N., Stangor, C., & Hewstone, M. (Eds.). (1996). Stereotypes and stereotyping. Guilford Press.
Rosenthal, R., & Jacobson, L. (1968). Pygmalion in the Classroom: Teacher Expectation and Pupils’ Intellectual Development. Holt, Rinehart & Winston.
Sherif, M., & Hovland, C. I. (1961). Social Judgment: Assimilation and Contrast Effects in Communication and Attitude Change. Yale University Press.
Sue, D. W., & Sue, D. (2013). Counseling the Culturally Diverse: Theory and Practice. John Wiley & Sons.
Tajfel, H., & Turner, J. C. (1979). An integrative theory of intergroup conflict. The Social Psychology of Intergroup Relations, 33-47.
Spencer, S. J., Logel, C., & Davies, P. G. (2016). Stereotype threat. Annual Review of Psychology, 67, 415-437.
Steele, C. M., & Aronson, J. (1995). Stereotype threat and the intellectual test performance of African Americans. Journal of Personality and Social Psychology, 69(5), 797-811.
Wimmer, A., & Lewis, K. (2010). Beyond and below racial homophily: ERG models of a friendship network documented on Facebook. American Journal of Sociology, 116(2), 583-642.

Penulis : Wahyuni Budiastuti
Mahasiswa Magister Psikologi
Soegijapranata Catholic University

Berita Terkait

spot_img

Berita Terbaru