Kamis, 11 September 2025
27.2 C
Semarang

Kisah Kusni Kasdut: Pejuang Kemerdekaan yang Terlupakan, dari Medan Perang ke Jalanan Gelap

Berita Terkait

SEMARANG – Kusni Kasdut, seorang veteran pejuang kemerdekaan yang kemudian menjadi penjahat paling dicari pada masanya, dieksekusi mati pada 16 Desember 1980. Perjalanan hidupnya yang penuh paradoks—dari pahlawan revolusi hingga buronan—menyisakan refleksi mendalam tentang trauma pasca-perang, keadilan sosial, dan tanggung jawab negara.

Perjuangan di Medan Revolusi Kusni Kasdut adalah bagian dari generasi yang mengorbankan masa mudanya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.Ia terlibat dalam perang gerilya melawan pasukan kolonial Belanda pada periode 1945-1949. Seperti banyak pemuda saat itu, ia berjuang dengan keberanian dan loyalitas tinggi, seringkali dalam kondisi yang sangat minim: senjata seadanya, logistik terbatas, dan terus menerus menghadapi ancaman penangkapan atau kematian. Pengalaman di medan perang ini membentuknya menjadi pribadi yang tangguh, disiplin, tetapi juga akrab dengan kekerasan.

Transisi Pahit ke kehidupan Sipil Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia,Kusni dan banyak rekannya sesama pejuang menghadapi kenyataan pahit, negara yang mereka perjuangkan belum siap memberikan kehidupan yang layak bagi para veteran. Mereka kembali ke masyarakat tanpa keahlian sipil yang memadai, tanpa program reintegrasi yang jelas, dan seringkali diabaikan oleh sistem. Kusni, yang hanya berpendidikan dasar, kesulitan mencari pekerjaan yang stabil. Frustrasi akan kemiskinan dan perasaan dikhianati oleh negara yang mereka bela, menjadi bom waktu bagi banyak mantan pejuang.

Dalam kondisi terdesak itulah,Kusni memilih jalan kriminal. Namun, aksinya bukan sekadar perampokan untuk kekayaan pribadi. Ia menyasar simbol-simbol kekuasaan dan kekayaan:

· Perampokan Museum Nasional (1961) yang menyimpan harta karun sejarah.
· Perampokan toko permata dan bank yang dianggapnya mewakili ketimpangan sosial.


Ia kerap disebut “Robin Hood Indonesia” karena kabarnya membagikan sebagian hasil rampokannya kepada rakyat miskin, meski hal ini sulit diverifikasi secara objektif. Bagi Kusni, kejahatan yang dilakukannya adalah bentuk protes terhadap ketidakadilan yang ia saksikan sehari-hari. Sayangnya, kekerasan yang ia gunakan justru mengaburkan pesan moral yang ingin ia sampaikan. Negara Harus Belajar dari Sejarah Melihat fenomena Kusni Kasdut, hal ini diungkapkan Dr. Yuwanto, Ph.D., Ketua Program Doktor Ilmu Sosial dan Pakar Perbandingan Politik Universitas Diponegoro, Minggu (07/08) yang mengatakan bahwa kisah Kusni Kasdut adalah potret kegagalan negara dalam mengelola transisi pasca-konflik. Banyak pejuang kita yang kembali tanpa diberikan penghidupan layak, tanpa program reintegrasi yang memadai. Mereka yang pernah memegang senjata akhirnya mudah terjerumus pada kekerasan. Pemerintah harus belajar dari sejarah ini, “jangan pernah mengabaikan mereka yang telah berjasa bagi bangsa. Berikan apresiasi, berikan keadilan ekonomi, dan bangun sistem yang inklusif agar tidak terulang lagi”, tegasnya.

Sementara itu, Gregorius Davi Kurniawan, warga Setro, Kabupaten Semarang,menyatakan kekagumannya yang kompleks,
“Sebagai generasi muda, saya justru bangga bahwa sejarah kita memiliki figur seperti Kusni Kasdut. Bukan karena kejahatannya, tapi karena kisahnya mengajarkan kita untuk melihat lebih dalam. Kejahatan tetaplah kejahatan, dan itu tidak bisa dibenarkan”, ujarnya pada portal jateng.id.

Tapi di balik itu, ada pelajaran tentang betapa manusia bisa terpelanting ketika hak-hak dasarnya diabaikan. “Ini harus menjadi pembelajaran bagi bangsa kita untuk lebih menghargai setiap orang, terutama para pejuang”, imbuhnya.

Kusni Kasdut mungkin telah pergi,tetapi pelajaran dari hidupnya tetap relevan hingga hari ini. Marilah kita jadikan kisahnya sebagai pengingat untuk terus memperjuangkan keadilan sosial, mengapresiasi jasa pahlawan, dan membangun sistem yang memanusiakan manusia.

“Setiap jiwa yang lahir ke dunia membawa misi dan pelajaran. Kusni mengajarkan kita tentang dampak dari luka kolektif yang tidak disembuhkan, tentang pentingnya memaafkan tetapi tidak melupakan, dan tentang kewajiban kita untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan penuh kasih. Sebelum menghakimi, mari kita belajar memahami. Sebelum mengutuk, mari kita berusaha memperbaiki.”

Berita Terkait

spot_img

Berita Terbaru