Catatan Redaksi – Kita hidup di era yang unik. Sebuah zaman di mana perhatian kita telah menjadi komoditas paling berharga, dan platform digital telah menjadi arsiteknya. Kutipan bijak dari Tristan Harris, mantan etikus desain Google, menggambarkannya dengan sempurna: “Platform dirancang untuk membuat kita ketagihan, dan konflik adalah salah satu narkotika digital yang paling adiktif.”
Pernyataan ini bukan sekadar metafora puitis, melainkan diagnosis akurat atas realitas yang kita alami sehari-hari. Pikirkan baik-baik, mengapa kita sulit melepaskan pandangan dari notifikasi berantai di kolom komentar yang panas? Mengapa debat kusir di media sosial terasa begitu menguras energi, namun tetap membuat kita kembali lagi? Jawabannya terletak pada desain.
Desain yang Memanfaatkan Otak Purba

Platform digital dibangun dengan algoritma yang memahami psikologi manusia lebih baik daripada kita sendiri. Mereka tahu bahwa otak kita berevolusi untuk selalu waspada terhadap ancaman dan konflik, sisa insting bertahan hidup dari zaman nenek moyang kita di savana. Ketika ada perdebatan, perbedaan pendapat yang sengit, atau kontroversi, sistem limbik kita (pusat emosi) menyala. Dopamin, zat kimia pemberi rasa “asyik” dilepaskan.
Para insinyur di balik layar telah menjadikan mekanisme biologis ini sebagai bahan bakar. Algoritma diprogram untuk mengutamakan keterlibatan (engagement). Dan apa yang lebih melibatkan daripada konflik? Postingan yang memicu amarah, komentar yang sarkastik, atau berita yang sensasional, semuanya mendapat prioritas untuk ditampilkan di layar kita. Kita terjebak dalam siklus: terpancing, bereaksi, merasa ‘puas’ sesaat, lalu mengulanginya lagi. Inilah siklus kecanduan digital.
Konflik sebagai Narkotika, Memabukkan dan Mengisolasi
Layaknya narkotika, konflik digital menawarkan “high” atau sensasi puncak yang instan—perasaan diakui, didengar (atau sebaliknya, merasa menjadi martir). Namun, setelah efeknya mereda, yang tersisa adalah kehampaan, kelelahan mental, dan seringkali, rasa penyesalan.
Yang lebih berbahaya, zat adiktif ini mengisolasi kita dalam ruang gema (echo chamber). Algoritma akan terus menyajikan konten serupa yang mengkonfirmasi bias kita, memperdalam jurang pemisah, dan mengubah “yang lain” menjadi musuh digital yang abstrak. Empati dan nuansa lenyap, digantikan oleh label, stereotip, dan kemarahan yang disederhanakan.
Jangan Jadikan Hati sebagai Medan Perang Orang Lain
Dari kacamata spiritual, fenomena ini adalah ujian zaman yang dahsyat. Banyak ajaran inti spiritualitas mengingatkan kita untuk menjaga pikiran, perkataan, dan ketenangan batin. Konflik digital yang tiada henti merampas ketiga hal itu.
- Menjaga Pikiran (Mindfulness Digital): Setiap konten yang kita konsumsi adalah makanan bagi pikiran. Jika kita terus-menerus menyantap “makanan” beracun berupa kebencian dan pertikaian, hati dan pikiran kita akan keracunan. Spiritualitas mengajarkan kita untuk selektif dan sadar (conscious scrolling). Apakah ini membangun atau merusak ketenteraman jiwa?
- Menjaga Ucapan (& Ketikan): Dalam banyak tradisi, kata-kata adalah doa dan memiliki kekuatan pencipta. Setiap kali kita mengetik komentar pedas atau menyebarkan informasi yang belum diverifikasi, kita sedang menabur benih karma digital. Apakah kata-kata ini akan menyembuhkan atau melukai?
- Menjaga Ketenangan Batin, adalah tujuan akhir banyak jalan spiritual adalah kedamaian internal (inner peace). Platform yang memanfaatkan konflik adalah lawan dari kedamaian ini. Mereka mendorong kita untuk bereaksi, bukan merenung; untuk menghakimi, bukan memahami.
Melawan Arus Menjadi Pengguna yang Berdaulat
Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Menjadi Luddite dan menolak teknologi bukanlah solusi. Kita perlu menjadi pengguna yang berdaulat dan sadar.
· Kenali Desainnya: Sadari bahwa dorongan untuk terus-menerus memeriksa dan berdebat itu by design. Anda sedang dirancang untuk kecanduan.
· Kurangi Pemicu (Digital Detox): Tentukan batasan. Nonaktifkan notifikasi, alokasikan waktu bebas gawai, dan kultivasi ruang hening di dunia nyata.
· Mengutamakan Koneksi Nyata: Alihkan energi dari berdebat dengan anonim di dunia maya kepada berdialog dengan kasih di dunia nyata. Rekatkan yang retak, sambangilah saudara.
· Berkontribusi Positif: Gunakan platform untuk menyebarkan kebaikan, pengetahuan, dan empati. Jadilah algoritma kebaikan itu sendiri dengan sengaja mengonsumsi dan membagikan konten yang membangun.
Merebut Kembali Kemanusiaan Kita
Kutipan tersebut adalah cermin dan panggilan untuk bangkit. Jika konflik adalah narkotika digital, maka kesadaran adalah penawarnya, dan kearifan adalah program rehabilitasinya. Di era di mana segala sesuatu dirancang untuk mencuri perhatian dan memecah belah, tindakan paling revolusioner yang bisa kita lakukan adalah: memilih untuk tetap tenang, tetap terkoneksi dengan manusia di seberang layar, dan menjaga kesucian batin kita di tengah hiruk-pikuk digital.
Mari kita berhenti menjadi konsumen pasif yang diombang-ambingkan arus konflik. Mari kita menjadi manusia yang merdeka, yang menggunakan teknologi tanpa diperbudak olehnya, dan yang menjaga api spiritual kemanusiaan kita tetap menyala, bahkan di tengah badai digital yang paling dahsyat sekalipun.



