Catatan Redaksi – Sudah lima tahun berlalu, namun langit yang sama masih menumpahkan airnya dengan cara yang sama. Genangan yang sama masih menggenangi jalan-jalan yang sama. Rumah-rumah yang sama masih menerima kunjungan air yang tak diundang. Di Semarang, banjir seolah telah menjadi tamu rutin yang datang tanpa jadwal pasti, namun selalu meninggalkan jejak yang tidak pernah benar-benar hilang.
Kita telah menyaksikan bersama, saat hujan deras mengguyur dan air laut meninggi, kawasan seperti Kaligawe, Genuk, Pedurungan, dan Tembalang kembali menjadi langganan genangan. Tanggul-tanggul sungai yang sudah diperkuat ternyata belum cukup. Pompa-pompa air yang dihidupkan darurat ternyata hanya menjadi penunda masalah. Dan ketika banjir datang, semua pihak bergerak, baik relawan, TNI, Polri, pemerintah dengan semangat luar biasa menyalurkan bantuan dan evakuasi.
Namun, ketika musim kemarau tiba, ketika langit cerah dan tanah kering, di manakah semangat mitigasi itu? Di manakah upaya konsisten untuk mengeruk sedimen sungai, memperbaiki drainase, menambah embung, dan menciptakan ruang hijau sebagai daerah resapan?. Kita seolah lupa bahwa banjir tidak hanya tentang air yang datang, tetapi juga tentang ruang yang telah kita rampas dari alam.

Tidak ada maksud untuk menyalahkan. Setiap pihak telah berusaha dengan caranya masing-masing. Namun, mungkin inilah saatnya kita bertanya dengan jujur, apakah kita sudah melakukan yang terbaik untuk mencegah, bukan hanya merespons? Apakah kita sudah memandang banjir sebagai persoalan sistemik, bukan sekadar bencana periodik?.
Dalam perspektif spiritual, bencana memang takdir Ilahi. Namun, takdir bukanlah alasan untuk berpangku tangan. Nabi Muhammad SAW mengajarkan, “Ikatlah untamu, lalu bertawakallah.” Ikatlah untamu, itu adalah ikhtiar maksimal untuk mitigasi. Lalu bertawakal, itu adalah penyerahan diri setelah upaya terbaik dilakukan.
Mari kita bayangkan Semarang lima tahun ke depan, jika dari sekarang kita konsisten menata ulang tata air, memperbanyak ruang hijau, mengelola sampah dengan bijak, dan membangun kesadaran kolektif, mungkin kita tidak akan lagi melihat wajah-wajah lelah yang terduduk lesu di atap rumah menunggu bantuan. Mungkin kita tidak akan lagi membaca berita tentang anak-anak yang hanyut di selokan permukiman.
Bencana boleh datang atas kehendak-Nya, tapi nestapa yang menyertainya seringkali adalah hasil dari pilihan kita bersama. Mari jadikan keprihatinan ini sebagai pemicu aksi, bukan hanya untuk pemerintah, tetapi untuk kita semua. Karena Semarang yang lebih aman dari banjir bukan hanya tanggung jawab pemangku kebijakan, melainkan panggilan bersama setiap warga yang mencintai kotanya. Mungkin dengan kesadaran inilah kita bisa memutus mata rantai “tradisi banjir” yang telah terlalu lama mengikat kota Semarang ini.



