Semarang – Kalangan pengusaha di Kota Semarang, Jawa Tengah keberatan dengan diberlakukannya Upah Minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) 2025.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kota Semarang Dedi Mulyadi mengatakan, penerapan UMSK di Kota Semarang belum tepat dan justru kian membebani para pengusaha.
“Kenaikan upah sektoral sangat membebani industri, terutama padat karya seperti garmen ini menjadi beban,” katanya hari ini Senin 24 Maret 2025.

Ia mengatakan, di Kota Semarang dan Kabupaten Jepara banyak industri padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja sehingga belum pas diterapkan UMSK tersebut.
Menurutnya, saat ini pengeluaran terbesar industri padat karya diperuntukkan untuk gaji karyawan yang mencapai 40-50 persen dan terus mengalami kenaikan setiap tahun.
“Pengeluaran terbesar industri padat karya seperti garmen 40-50 persen untuk tenaga kerja dan sisanya untuk bahan baku. Upah selalu naik namun produksi tidak naik,” jelasnya.
Dedi menyatakan, pemberlakuan UMSK lebih tepat jika diterapkan di wilayah dengan industri yang sudah tertata seperti di Bali yang banyak industri hotel-hotel.
“UMSK bisa diterapkan seperti di Bali yang kebanyakan hotel, sedangkan di Jateng masih campur-campur, sehingga masih banyak kendala,” katanya.
Ia mengatakan, saat ini industri di Semarang maupun wilayah lain lebih memilih merelokasi usahanya ke tempat lain agar bisa terus berjalan.
Tidak hanya itu, lanjutnya industri juga melakukan efisiensi dan ada yang melakukan PHK karena banyaknya aturan-aturan baru yang berubah terus.
“Masa depan industri sekarang tidak bisa prediksi berapa lama akan bertahan, aturan berubah-ubah terus, sudah dihitung berubah lagi, sehingga kepastiannya belum jelas,” ucapnya.
Ia berharap pemberlakuan UMSK bisa dikaji ulang lebih jelas dan mengajak kalangan pengusaha untuk berdiskusi mencari solusi terbaik bagi kelanjutan usaha maupun bagi pekerja.***