YOGYAKARTA – Di tengah ancaman krisis pangan global yang melanda berbagai negara, pemerintah Indonesia melalui Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mencanangkan target ambisius untuk menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia. Visi ini diwujudkan melalui program hilirisasi enam komoditas unggulan – tebu, kakao, kopi, kelapa, mete, dan lada/pala – dengan anggaran Rp 9,95 triliun yang ditargetkan dapat menyerap 1,6 juta tenaga kerja dalam dua tahun.
Berdasarkan data Badan Pangan Nasional, produksi beras nasional pada 2025 diproyeksikan mencapai 31 juta ton dengan surplus sekitar 3 juta ton. Beberapa komoditas strategis seperti telur, daging ayam, cabai, dan bawang merah juga telah mencapai tingkat ketercukupan tanpa impor. Pemerintah bahkan menargetkan peningkatan surplus beras menjadi 5-6 juta ton per tahun untuk menghapus ketergantungan impor.
Namun, di balik optimisme pemerintah, Prof. Subejo, S.P., M.Sc., Ph.D., pakar pertanian UGM, mengingatkan bahwa target menghentikan impor pangan pada 2025 sangat sulit dicapai. “Dibutuhkan rentang waktu 3-4 tahun untuk persiapan matang mengingat kompleksitas tantangan yang dihadapi,” tegasnya.

Beberapa tantangan kritis yang dihadapi antara lain kapasitas produksi yang masih terbatas dengan impor beras mencapai 3 juta ton per tahun, jagung 1 juta ton, gula 4 juta ton, dan garam 2 juta ton. Selain itu, skala usaha tani yang kecil dengan rata-rata penguasaan lahan hanya 1.000 m² per petani, serta infrastruktur irigasi yang memprihatinkan dengan indeks pertanaman padi kurang dari 1,5 kali per tahun.
Prof. Subejo menekankan pentingnya pendekatan bertahap dan kolaborasi triple helix antara pemerintah, sektor swasta, dan petani. Beberapa solusi yang ditawarkan termasuk penerapan teknologi pertanian presisi, pengembangan varietas adaptif seperti Padi Gamagora 7 UGM yang tahan kondisi ekstrem, serta penguatan sistem distribusi melalui koperasi desa.
“Dengan efisiensi produksi yang tinggi, produk nasional seharusnya mampu bersaing di pasar internasional,” ujar Prof. Subejo. Namun, ia mengingatkan bahwa penghentian impor secara tiba-tiba tanpa diimbangi peningkatan produksi yang memadai justru berisiko memicu inflasi dan mengganggu stabilitas harga pangan.
Visi lumbung pangan dunia memang patut didukung sebagai cita-cita mulia, namun keberhasilannya bergantung pada kemampuan kita dalam membenahi fundamental sektor pertanian secara komprehensif – dari peningkatan kapasitas petani, optimalisasi lahan, hingga perbaikan tata kelola distribusi. Tantangan terbesar kini adalah mengubah optimisme menjadi aksi nyata yang inklusif dan berkelanjutan.



